Destinasi

Hancurnya harga puter pelung sampai dibuat lauk makanan. Bagaimana selanjutnya?

3 hari yang lalu saya mendapat chat dari seorang sahabat yang mengatakan mulai runtuhnya harga puter pelung di beberapa daerah. Dari tawaran harga seratus ribu sampai lima puluh ribu untuk puter pelung anakan.

Saya sempat menanggapi santai laporan tersebut hingga saya sahabat saya tersebut mengirimkan video seorang peternak yang sampai menyembelih puter pelungnya lengkap dengan menyebutkan ring peternak hingga ring pendamping sebuah organisasi ternama. Jujur kaki saya langsung linu melihat hal tersebut.

Saya jadi teringat akan adanya demo kelompok pecinta anjing dan kucing yang sempat beredar di berbagai media akan adanya warung yang berbahan anjing dan kucing. Taruhlah warung rica-rica anjing yang katanya pernah menjamur di berbagai kota Jawa Tengah. 

Bahkan di pasar Tomohon Manado 2 bahan menu ini menjadi hal biasa dijajakan. Jangankan kucing dan anjing, sampai ular, buaya, dan hewan lainnyapun ada.

Para pendemo yang memang notabene pecinta anjing dan kucing ini memprotes keras akan adanya warung berbahan daging kucing dan anjing. Menurut mereka, anjing dan kucing adalah sahabat manusia yang bukanlah sebuah bahan untuk dikonsumsi.

Apalagi dengan model penyembelihan atau proses pematian hewat yang dirasa cukup kejam. Bagaimana tidak? Proses pematian dengan dipukul kepalanya atau dibakar hidup-hidup.

Kalau kita lihat dari sisi ini, puter pelungpun demikian adanya. Puter pelung diternakkan bukan untuk diambil dagingnya seperti ayam, bebek, atau hewan pedaging lain. Tapi kita membudidayakan untuk kita nikmati alunan suaranya. 

Yang sebagian dari kita bisa merasa santai, rileks, menikmati sebuah anggungan dengan kopi hangat plus gorengan di samping kita.

Kalau saja kita budidayakan puter pelung dengan hitung-hitungan seperti pada peternakan ayam. Dengan hitungan berapa kilo pakan yang dikeluarkan, berapa biaya perawatan, sampai berapa vitamin yang kita berikan. 

Lalu semua itu kita hitung dengan berapa kilo daging yag dihasilkan. Ya hasilnya jadi boncos. Ga akan sebanding. 

Puter pelung adalah salah satu dari sekian banyak seni suara di dunia. Layaknya Beethoven dengan iringan pianonya yang menggugah alam bawah sadar kita. Yang terkenal dengan beberapa karya simfoninya. 

Yang menjadi salah satu tokoh perubahan zaman klasikal menuju zaman romantika. Jadi kalo kita bandingkan antara seni suara dengan kebutuhan makanan kita? Ya ga sebanding bos...

Lalu bagaimana dengan hancurnya harga puter pelung di sekitar kita?


Saya jadi teringat ketika beberapa tahun lalu sebelum wabah corona menghantui dunia, saya jalan-jalan ke Bali. Sampai sana kurang pas rasanya kalo tidak memenuhi hasrat istri berbelanja di pasar seni Sukawati di Gianyar Bali. 

Di sana banyak dijual barang-barang seni buatan masyarakat lokal. Mulai dari baju, gantungan kunci, patung, hingga lukisan pun ada.

Ketika sampai di beberapa penjual lukisan, saya berhenti dan mencoba mengamati karya-karya yang ada. Dari kaca mata saya yang awam ini sudah merasa bahwa lukisan itu bagus-bagus. Guratan kuas di atas kanvas juga kelihatan banget menandakan itu sebuah karya tangan. Bukan hasil cetak printing apalagi sablon. 

Sayapun bertanya tentang harga dari lukisan itu. Dengan melalui proses yang bisa dikatakan alot, akhirnya saya mendapatkan 5 lukisan dengan harga cuma 350.000 saja. Artinya, harga lukisan itu tidak sampai seratus ribu. Tepatnya di angka 70.000

Bagaimana? Murah bukan?

Apalagi ketika kita jalan-jalan di sekitaran wilis Malang yang juga menjual beberapa lukisan sama. Bedanya, ketika saya jalan-jalan di Sukawati Bali, lukisan tersebut seperti nyata dan dibuat dengan tangan pelukis langsung. 

Sedang di wilis yang notabene pasar dengan jajaran toko buku di Malang, lukisan tersebut sudah dicetak otomatis menggunakan alat modern. Harganyapun beda jauh. Lukisan cetak printing dijual dengan harga 5 ribu sampai 10 ribu saja.

Bagaimana? Sampai sini apa sudah menganggap bahwa harga lukisan hancur?

Bagaimana dengan lukisan para pelukis terkenal. Sebut saja lukisan Salvatore Mundi milik Leonardo Da Vinci. Lukisan tersebut dijual di rumah lelang Christie seharga $450 Juta atau senilai dengan Rp 6,7 Trilyun.

Pada tahun 2014 seseorang dari Negara Qatar membayar $210 juta atau senilai dengan Rp 2,9 Trilyun untuk lukisan milik Paul Gauguin yang dibuat pada tahun 1892 bertajuk When Will You Marry? 
Dalam lukisan tersebut menggambarkan seorang ibu yang sedang menanyakan pertanyaan yang dianggap paling menyebalkan sedunia, kepada putrinya sesuai dengan judul lukisan tersebut Kapan kamu akan menikah?

Selain pelukis terkenal di barat sana, kita kembali ke Indonesia. Sebut saja seorang pelukis dengan nama I Nyoman Gunarsa dari Bali yang lukisannya pernah laku di angka 100 juta rupiah. 

Atau yang palisng fantastis dari lukisan itu adalah karya dari seorang maestro Affandi yang mencatat penah terjadi penjualan sebesar 5.59 Miliar untuk lukisan dengan judul Colosseum Roma.

Kembali ke tema kita tentang harga puter pelung 

Sebuah hukum pasar mengatakan, Harga berbanding lurus dengan banyaknya stok dan permintaan. Semakin banyak permintaan sementara ketersediaan minimal, hargapun akan naik. 

Seperti hand sanitizer dan masker di awal-awal pandemi yang harganya naik gila-gilaan. Begitu juga sebaliknya, semakin banyak ketersediaan sementara permintaan berkurang, maka harga pun akan muncul hancur-hancuran.

Pertanyaannya? Yang banyak beredar di pasaran itu puter pelung kualitas seperti apa? Lalu yang diinginkan pembeli itu puter pelung dengan kualitas bagaimana? Coba kita pikirkan dalam-dalam untuk melangkahkan kaki peternakan bird farm kita.

Saya katakan sekali lagi. Puter pelung adalah sebuah seni bukanlah komoditi. Layaknya sebuah seni, kita masih banyak menjumpai harga puter pelung di kisaran puluhan sampai ratusan juta rupiah. Pun dengan nasib yang sama, kita juga mendapati harga puter pelung yang ditawar hanya 50 sampai seratusan ribu saja. 

Lalu dimanakah posisi kita?

Pastinya, hanya kita yang tahu seberapa nilai dari sebuah seni yang kita kembangkan. Hanya kita yang tahu seberapa mahal proses keindahan dihitung dari angka keuangan. Dan hanya kita yang paham harga dari sebuah kesenangan.